Senin, 14 Juli 2008

MELONGOK KAMPUNG ISLAM WETU TELU DI LOMBOK BARAT, NTB (1)


Ramadhan Bersama Islam Wetu Telu di Lombok (kecil)

Sholat Tiga Waktu

Puasa Tiga Hari

Sebutan “Kota Seribu Masjid”, memang pantas disandang oleh Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sebab, hampir di setiap sudut kota itu terdapat masjid. Nuansa Islami memang sangat kental. Walau demikian, komunitas Islam Wetu Telu sebagai paham kepercayaan warga Suku Sasak tetap eksis, tak tergoyahkan. M. Tohir dari Majalah LIBERTY mencoba menembus pedalaman Suku Sasak di Lombok Barat, dan berikut laporannya:

Perjalanan menuju Lombok Barat bukan perkara gampang. Sarana transportasi menuju daerah di kaki Gunung Rinjani itu amat minim. Tak ada bus umum yang hilir mudik di jalanan, kecuali bus-bus pariwisata atau taxi. Satu-satunya transportasi umum, hanyalah colt dan itupun “amat sangat” minim jumlahnya.

Sebenarnya ada juga transportasi tradisionil, biasa disebut cidomo. Tetapi jarak tempuh dokar khas Lombok ini, tentu hanya beberapa kilo meter saja. Padahal, salah satu hunian komunitas Islam Wetu Telu berada di sekitar 100 kilo meter dari Kota Mataram. Pengalaman LIBERTY, waktu tempuh jarak sejauh itu dengan mobil carteran memakan waktu antara 4 hingga 5 jam.

Komunitas Islam Wetu Telu di Lombok Barat sendiri di antaranya terdapat di Desa Karangbajo, Kecamatan Bayan. Komplek hunian mereka dikenal dengan nama Bale Adat Gubug Karangbajo. Dalam komplek ini terdapat 25 rumah adat umat Islam Wetu Telu. Rumah-rumah adat mereka seperti rumah adat Suku Sasak kebanyakan. Dindingnya terbuat anyam-anyaman bambu, atapnya dari rumbia, dan hanya berlantaikan tanah.

Ketua Adat Islam Wetu Telu, Rianom (48), menyambut kedatangan kami dengan hangat dan ramah. “Ya, beginilah keadaan kami,” kata Rianom, yang ternyata seorang guru SD di Kecamatan Bayan ini. “Semuanya masih terjaga keasliannya,” lanjut Rianom tentang rumah-rumah rakyatnya di Bale Adat Gubug Karangbajo itu.

Sebagai ketua adat, Rianom tidak tinggal di Bale Adat Gubug Karangbajo. Padahal, ada “rumah dinas” untuk sang ketua adat di Bale Adat Gubug Karangbajo ini. Entah kenapa, ia lebih memilih tinggal di luar kompleks rumah adat pemeluk Islam Wetu Telu itu bersama isterinya yang asli Tulungagung, Jawa Timur. Meski tinggal di luar kompleks, bukan berarti Rianom tak bertanggung jawab atas kawulanya dan “pemerintahannya”. “Setiap saat saya masih datang ke sini untuk koordinasi dan keperluan-keperluan adat lainnya,” aku Rianom yang tinggal di sebuah rumah permanen, tidak jauh dari Bale Adat Gubug Karangbajo ini.

Sungguh sebuah pengalaman spiritual yang sangat mengesankan, ketika kami berkesempatan untuk bertandang ke Bale Adat Gubug Karangbajo. Begitu tiba di hunian, Rianom segera memenggil beberapa “pejabat adat” Islam Wetu yang tinggal di rumah dinas Bale Adat Gubug Karangbajo itu.

Pejabat-pejabat adat yang diperkenalkan itu antara lain Lokak Pande (staf ahli), Lokak Penguban (yang memayungi dan melindungi umat, selain pembawa payung agung dalam ritual Mauludan), Amak Lokak (tetua adat), Melokak Pemangkuan Singgan Dalem (Intelejen) dan Pemangku Melokak Walin Gumi (penasehat spiritual).

Sejak seseorang dipercaya mengemban sebuah jabatan, maka sejak itu pula dalam pergaulan sehari-hari nama pejabat yang bersangkutan hilang dari sebutan. Tetapi, jabatan yang disandang menjadi sapaan. Misalnya Pak Anu menyandang jabatan Lokak Pande, maka dalam pergaulan sehari-hari sebutannya bukan Pak Anu, tetapi cukup Lokak Pande.

COPOT CELANA DALAM

Menjelajah setiap sudut Bale Adat Gubug Karangbajo, sungguh sebuah pengalaman yang amat mengesankan. Sebab, setiap orang asing yang ingin memasuki kawasan adat ini, harus memenuhi aturan adat yang berlaku. Tidak terkecuali kami, yang harus copot (maaf) celana dalam.

Rianom terkesan berhati-hati sekali, ketika menyampaikan syarat itu kepada kami. Berulang kali, ia pun minta maaf sebelum menyampaikan syarat yang diminta. “Maaf, saya benar-benar minta maaf,” kata Rianom sambil menatap penuh arti kepada LIBERTY. “Untuk bisa memasuki kawasan dalam Bale Adat Gubug Karangbajo ini, syaratnya harus semua ganti pakaian. Semuanya harus dilepas, termasuk celana dalam,” lanjut Rianom.

Ha? Semua harus dilepas, termasuk celana dalam? Kami sempat terkejut dengan persyaratan yang diajukan itu. Tampaknya, Rianom bisa melihat keterkejutan kami. Dan ia pun kembali minta maaf, “Maaf, sekali lagi maaf. Ini, bukan kami hendak mengada-ada, tetapi memang begitulah syaratnya.”

“Bagaimana?” Rianom mempertanyakan kesanggupan kami memenuhi syarat itu. Kami pun lalu mengatakan, “Tak masalah.” Setelah tercapai kesepakatan, akhirnya Rianom mempersilahkan kami untuk dibawa oleh Pembekel Adat di rumah dinasnya yang letaknya bersebelahan dengan tempat khusus penerima tamu.

Memasuki rumah dinas Pembekel Adat, kami langsung seperti tak bisa bernafas. Rumah tersebut, tanpa jendela dan hanya ada satu pintu. Berlantai tanah, berdindingkan anyaman bambu, dan beratap rumbia. Perabotan rumah yang tampak mencolok, hanya berupa dua amben reyot.

Sebuah amben, berkelambu kumal sehingga tidak tampak bagaimana keadaan guling, bantal dan selimutnya. Tetapi amben yang satunya lagi dibiarkan tak berkelambu, sehingga tampak kasur dan bantalnya yang amat kumal. Selain itu, tidak ada skat-skat pembagi ruangan dalam rumah yang berukuran sekitar 4 x 6 meter itu. Di sinilah Pembekel Adat mendadani kami sesuai adatnya.

Setelah lepas celana panjang dan celana dalam, aurat kami dibebat dengan kain panjang batik yang dilapis dengan kain bermotif kotak-kotak. Agar tidak melorot, sabuknya pun rangkap dua. Sabuk dalam untuk kain panjang batik, dan sabuk luar untuk kain hitam kebiruan yang bermotifkan kotak-kotak itu. “Ini nggak pernah dicuci,” Rianom yang mendampingi kami memberitahukan keadaan kain-kain penutup aurat itu. Pada kepala kami pun dikenakan penutup kepala khusus, yang konon juga tidak pernah dicuci.

SANDAL DILEPAS

Setelah berpakaian adat ala umat Islam Wetu Telu, kami pun diantar Rianom berkeliling ke sudut-sudut Bale Adat Gubug Karangbajo. Seperti halnya kami, sebelum memasuki kawasan Bale Adat Gubug Karangbajo – Rianom juga mengganti pakaiannya. Hanya saja, pakaiannya berbeda dengan yang kami kenakan.

Tidak sendirian Rianom mengawal kami melihat-lihat kawasan dalam yang amat wingit dan disakralkan itu. Tetapi dengan pengawalan seorang staf ahli yang lazim disebut Lokak Pande. Kawasan dalam ini, dikelilingi pagar anyaman bambu setinggi kurang lebih 3 hingga 4 meter. Ada undak-undakan batu di depan pintu masuk kawasan dalam itu. “Maaf ya, kalau masuk di kawasan dalam ini, sandal harus dilepas,” Rianom memberi tahu kami, ketika melepas sandalnya di undak-undakan batu menuju kawasan dalam.

Terdapat beberapa bangunan di kawasan dalam tersebut. Di antaranya, yang disebut dengan Bruga Agung, Bruga Malang, Balai Pedangan, Balai Temboroka, dan beberapa bangunan adat lainnya. Khusus untuk Bruga Agung, menurut Rianom diperuntukkan sebagai tempat musyawarah atau memutuskan perkara. “Ya, disinilah para pemangku, pembekel, dan tuak lokak merapatkan hal-hal yang penting dan untuk memutuskan perlu dimusyawarahkan,” jelas Rianom.

Yang disebut Bruga Agung sendiri, berupa bangunan balai-balai di atas panggung. Siapapun yang naik ke tempat ini, konon harus memiliki niat yang suci. Duduk pun tidak boleh sembarangan. Di antaranya, tidak boleh duduk dengan posisi kaki menggantung di tepi balai-bali. “Aturannya memang demikian, jika sudah berada di Bruga Agung ini, duduknya harus bersila dan takzim,” ujar Rianom.

Kawasan dalam Bale Adat Gubug Karangbajo ini, terkesan benar-benar disucikan. Sejumlah bangunan khusus yang berada di dalamnya hanya difungsikan untuk hal-hal tertentu. Di sini pula tinggal seorang ulama Islam Wetu Telu. Rianom kembali minta maaf kepada kami, ketika ia tak bisa mempertemukan kami dengan Kiai Islam Wetu Telu yang dimaksudkannya itu. “Mungkin lain waktu saja,” kata Rianom kepada kami tanpa bisa menyembunyikan kekecewaannya.

PUASA DAN SHOLAT

Terdapat beberapa tingkatan ulama dalam komunitas Islam Wetu Telu. Sedikitnya ada empat tingkatan. Tingkatan yang paling atas, lazim disebut Kiai Penghulu. Sedang tingkatan di bawahnya, masing-masing disebut Kiai Lebaih, Kiai Ketib, dan Kiai Mudim. Menurut Rianom, kepada para ulama inilah umat Islam Wetu Telu menggantungkan hal-hal yang sifatnya spiritual.

Seperti bulan Ramadhan ini, misalnya. Umat Islam Wetu Telu juga melaksanakan puasa Ramadhan. Tetapi puasa mereka tidak sebulan penuh selama bulan Ramadhan itu. Puasa mereka dalam satu bulan hanya selama tiga hari. Waktunya pun bisa dipilih, bisa di awal, di tengah atau di akhir bulan Ramadhan menjelang hari raya Idul Fitri.

“Jika misalnya pilih waktu di tengah, maka ya mulainya paroh bulan hingga tiga hari secara berturut-turut. Begitu pula jika misalnya ingin pilih di awal bulan puasa atau di akhir bulan puasa menjelang hari raya Idul Fitri,” ungkap Rianom menjelaskan cara berpuasa umat Islam Wetu Telu.

Uniknya, puasa tersebut bisa diwakilkan kepada para ulama Islam Wetu Telu. Para ulama Islam Wetu Telu yang mendapat mandat untuk “memuasakan” umatnya, hukumnya wajib untuk untuk melaksanakan. Jika tidak, maka akan mendapat sanksi adat yang cukup berat. “Seorang ulama Islam Wetu Telu yang mendapat sanksi adat, maka akan menanggung beban moral yang sangat berat dan secara psikhologis cukup menyiksa ulama yang bersangkutan itu,” ujar Rianom.

Kepercayaan Islam Wetu Telu yang dianut masyarakat Suku Sasak ini memang berbeda dengan umumnya ajaran Islam. Begitupun dalam melaksanakan sholat. Umat Islam Wetu Telu tidak melaksanakan sholat 5 waktu dalam sehari, melainkan hanya 3 waktu saja: sholat pada siang hari (duhur), sore hari (asyar), dan saat matahari terbenam (maghrib).

Meski tidak sesuai dengan syariat Islam, mengapa Islam Wetu Telu hingga kini tetap eksis? Bagaimana pula awal bercokolnya ajaran ini di “pulau seribu masjid”? Lebih jauh tentang hal ini, ikuti di edisi mendatang. (bersambung)

1 komentar:

pamor mengatakan...

met ber blog ria
salam kenal dari kami

thx